Bogor – Pagi yang seharusnya tenang di Buitenzorg nama lama Kota Bogor berubah menjadi mimpi buruk. Rumah-rumah berguncang hebat, dinding retak, dan tanah di lereng Gunung Pangrango terbelah, memicu longsor besar. Getarannya terasa hingga Batavia (Jakarta), di mana kaca jendela pecah, genteng beterbangan, dan warga berhamburan ke luar rumah dalam kepanikan.
Peristiwa itu dikenal sebagai Gempa Besar Jawa Barat 1834, salah satu bencana alam paling dahsyat di Hindia Belanda abad ke-19. Meski demikian, catatan sejarah sering menimbulkan kebingungan mengenai tanggal pastinya. Beberapa sumber menyebut 10 Oktober, sementara catatan resmi pemerintah kolonial menuliskan 11 Oktober 1834.
Baca Juga : Inilah Sejarah Bogor, Kota Peninggalan Kerajaan Pajajaran
Perbedaan Waktu dan Konfirmasi Ilmiah
Perbedaan tanggal tersebut disebabkan oleh sistem pencatatan waktu kolonial. Laporan lapangan banyak ditulis pada malam 10 Oktober, sedangkan arsip resmi pemerintah Hindia Belanda mencatat kejadian dini hari 11 Oktober. Dalam katalog klasik A. Wichmann, Erdbeben in den Niederländischen-Indien (1918), disebutkan jelas bahwa gempa terjadi pada 11 Oktober 1834.
Peneliti modern dari Geoscience Australia juga mengonfirmasi tanggal yang sama dalam laporan ilmiah mereka berjudul Indonesia’s Historical Earthquakes (Record 2015/23). Studi yang dipimpin oleh Ngoc Nguyen, Jonathan Griffin, Athanasius Cipta, dan Phil R. Cummins tersebut menyimpulkan bahwa sumber gempa berada di daratan Jawa Barat, bukan di laut selatan.
Pusat Gempa dan Kekuatan Guncangan
Dengan menggunakan data arsip kolonial dan model seismik modern dari Peta Bahaya Gempa Nasional Indonesia 2010, tim peneliti memperkirakan bahwa episentrum gempa berada di sepanjang Sesar Cimandiri atau Sesar Baribis, dua jalur patahan aktif yang membentang dari Sukabumi hingga Karawang. Kedalaman gempa diperkirakan antara 20–30 kilometer, dengan kekuatan sekitar magnitudo 7,0–7,3.
Baca Juga : Kapan Wayang Disahkan oleh UNESCO Menjadi Situs Warisan Dunia? Ini Penjelasannya
Di Bogor, intensitas guncangan mencapai Modified Mercalli Intensity (MMI) VIII–IX, cukup kuat untuk meruntuhkan bangunan dan memicu longsor besar di sekitar Gunung Pangrango. Sementara itu, di Batavia, kekuatan guncangan menurun ke MMI VI, namun tetap menyebabkan kerusakan berat pada bangunan bata tanpa perkuatan.
Istana Bogor Runtuh dan Dampak Sosial
Catatan Wichmann (1918) menyebutkan Istana Gubernur Jenderal di Buitenzorg (kini Istana Bogor) mengalami kerusakan parah hingga nyaris hancur. Bangunan tersebut kemudian dibongkar dan dibangun ulang dengan struktur yang lebih rendah dan kuat.
Warga saat itu memilih tidur di luar rumah selama beberapa malam karena khawatir akan gempa susulan. Di lereng Pangrango, longsor besar menimbun sawah dan mengubah aliran sungai-sungai kecil, termasuk anak Sungai Cisadane.
Peringatan dari Masa Lalu
Hasil penelitian Geoscience Australia menunjukkan bahwa energi gempa 1834 bersifat dangkal dan terfokus, menyebabkan kerusakan lokal yang lebih parah dibanding peristiwa serupa pada tahun 1699.
Peristiwa ini menjadi dasar penting bagi para ahli geologi untuk merevisi Peta Bahaya Gempa Nasional Indonesia, agar tidak hanya memperhitungkan zona subduksi laut selatan, tetapi juga potensi gempa kerak dangkal di daratan Jawa Barat.
Meski perbedaan tanggal 10 atau 11 Oktober masih diperdebatkan, seluruh sumber ilmiah sepakat: Gempa Besar 1834 adalah peringatan sejarah bahwa tanah Jawa Barat terutama Bogor adalah wilayah aktif seismik yang harus selalu diwaspadai.